Senin, 06 September 2021

PENYAKIT DIABETES MELLITUS

PENYAKIT DIABETES MELLITUS



PENGERTIAN

Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO, 1999). 

Pada tahun 2000 diperkirakan sekitar 150 juta orang di dunia mengidap diabetes mellitus. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi dua kali lipat pada tahun 2005, dan sebagian besar peningkatan itu akan terjadi di negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Populasi penderita diabetes di Indonesia diperkirakan berkisar antara 1,5 sampai 2,5% kecuali di Manado 6%. Dengan jumlah penduduk sekitar 200 juta jiwa, berarti lebih kurang 3-5 juta penduduk Indonesia menderita diabetes. Tercatat pada tahun 1995, jumlah penderita diabetes di Indonesia mencapai 5 juta jiwa. Pada tahun 2005 diperkirakan akan mencapai 12 juta penderita (Promosi Kesehatan Online, Juli 2005). 

Walaupun Diabetes mellitus merupakan penyakit kronik yang tidak menyebabkan kematian secara langsung, tetapi dapat berakibat fatal bila pengelolaannya tidak tepat. Pengelolaan DM memerlukan penanganan secara multidisiplin yang mencakup terapi non-obat dan terapi obat.


KLASIFIKASI DIABETES

Klasifikasi diabetes melitus mengalami perkembangan dan perubahan dari waktu ke waktu. Dahulu diabetes diklasifikasikan berdasarkan waktu munculnya (time of onset). Diabetes yang muncul sejak masa kanak-kanak disebut “juvenile diabetes”, sedangkan yang baru muncul setelah seseorang berumur di atas 45 tahun disebut sebagai “adult diabetes”. Namun klasifikasi ini sudah tidak layak dipertahankan lagi, sebab banyak sekali kasus-kasus diabetes yang muncul pada usia 20-39 tahun, yang menimbulkan kebingungan untuk mengklasifikasikannya.

Pada tahun 1968, ADA (American Diabetes Association) mengajukan rekomendasi mengenai standarisasi uji toleransi glukosa dan mengajukan istilah-istilah Pre-diabetes, Suspected Diabetes, Chemical atau Latent Diabetes dan Overt Diabetes untuk pengklasifikasiannya. British Diabetes Association (BDA) mengajukan istilah yang berbeda, yaitu Potential Diabetes, Latent Diabetes, Asymptomatic atau Sub-clinical Diabetes, dan Clinical Diabetes. 

WHO pun telah beberapa kali mengajukan klasifikasi diabetes melitus. Pada tahun 1965 WHO mengajukan beberapa istilah dalam pengklasifikasian diabetes, antara lain Childhood Diabetics, Young Diabetics, Adult Diabetics dan Elderly Diabetics. Pada tahun 1980 WHO mengemukakan klasifikasi baru diabetes melitus memperkuat rekomendasi National Diabetes Data Group pada tahun 1979 yang mengajukan 2 tipe utama diabetes melitus, yaitu "Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM) disebut juga Diabetes Melitus Tipe 1 dan "Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (NIDDM) yang disebut juga Diabetes Melitus Tipe 2. Pada tahun 1985 WHO mengajukan revisi klasifikasi dan tidak lagi menggunakan terminologi DM Tipe 1 dan 2, namun tetap mempertahankan istilah "Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM) dan "Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (NIDDM), walaupun ternyata dalam publikasi-publikasi WHO selanjutnya istilah DM Tipe 1 dan 2 tetap muncul. Disamping dua tipe utama diabetes melitus tersebut, pada klasifikasi tahun 1980 dan 1985 ini WHO juga menyebutkan 3 kelompok diabetes lain yaitu Diabetes Tipe Lain, Toleransi Glukosa Terganggu atau Impaired Glucose Tolerance (IGT) dan Diabetes Melitus Gestasional atau Gestational Diabetes Melitus (GDM). Pada revisi klasifikasi tahun 1985 WHO juga mengintroduksikan satu tipe diabetes yang disebut Diabetes Melitus terkait Malnutrisi atau Malnutrition-related Diabetes Mellitus (MRDM. Klasifkasi ini akhirnya juga dianggap kurang tepat dan membingungkan sebab banyak kasus NIDDM (Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus) yang ternyata juga memerlukan terapi insulin.


Literatur :

Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes Mellitus (2005) Download / Download


Minggu, 05 September 2021

Hewan Uji (Kelinci)


 

Hewan Uji

Kelinci

Kingdom                                 : Animalia

Filum                                      : Chordata

Kelas                                       : Mammalia

Ordo                                        : Lagomorpha

Famili                                     : Leporidae

Genus                                      : Orycrolagus

Species                                    : Oryctolagus cuniculus

Masa hidup                             : 5 - 10 tahun

Masa produksi                        : 1 - 3 tahun

Masa bunting                          : 28-35 hari (rata-rata 29 - 31 hari)

Masa penyapihan                    : 6-8 minggu

Umur dewasa                          : 4-10 bulan

Umur dikawinkan                   : 6-12 bulan

Siklus kelamin                         : Poliestrus dalam setahun bisa 5 kali bunting

Siklus berahi                           : Sekitar 2 minggu

 Periode estrus                         : 11 - 15 hari

Ovulasi                                   : Terjadi pada hari kawin (9 - 13 jam kemudian)

Fertilitas                                 : 1 - 2 jam sesudah kawin

Jumlah kelahiran                    : 4- 10 ekor (rata-rata 6 - 8)

Volume darah                         : 40 ml/kg berat badan

Bobot dewasa                                                            : Sangat bervariasi, tergantung pada ras, jenis kelamin, dan faktor

 

            Kelinci juga merupakan hewan uji yang sering digunakan selain tikus. Contohnya kelinci albino Hewan ini biasanya digunakan untuk uji iritasi mata karena kelinci memiliki air mata lebih sedikit daripada hewan lain dan sedikitnya pigmen dimata karena warna albinonya menjadikan efek yang dihasilkan mudah untuk diamati. Selain itu, kelinci juga banyak digunakan untuk menghasilkan antibody poliklonal. Kelinci digunakan sebagai hewan percobaan karena memiliki struktur anatomi dan fisologi yang mirip dengan manusia.

            Kelinci telah dimanfaatkan dalam penelitian imunologi selama bertahun-tahun terutama yang berkaitan dengan struktur imunoglobulin dan kontrol genetik pembentukannya. Selain itu, kelinci biasa digunakan untuk tempat produksi antibodi poliklonal untuk digunakan sebagai reagen imunologi . Itu ukuran tubuh dan volume darah relatif besar, akses mudah ke sistem vaskular, dan tubuh besar yang ada informasi tentang pemurnian imunoglobulin kelinci adalah beberapa alasan kelinci lebih disukai daripada yang lain spesies hewan laboratorium umum untuk produksi antibodi poliklonal (G.Fox, et al., 201

Kelinci  (Oryctolagus cuniculus) yang dipelihara di indonesia sebagaian besar adalah keturunan kelinci yang berasal dari belanda dan termasuk jenis ukurannya yaitu hidup kurang dari 2 kg berat hidup.

Kelinci memiliki membran nikitin atau kelompok ketiga yang berkembang baik. Selama tidur atau anaesthesia membran tersebut menutup kornea. Bidang pandangnya sangat luas mencapai 190o untuk setiap bola mata dan karena pupilnya dapat berdilatasi maksimal, kepekaannya terhadap cahaya ± delapan kali kemampuan manusia. Telinga kelinci memiliki banyak pembuluh darah dan berfungsi untuk mengatur panas tubuh serta pengumpul bunyi. Karna bagian telinga mudah luka maka tidak diperkenankan untuk mengikat dibagian telinga.

Ruangan thoraxnya relatif lebih kecil dibanding ruang abdomennya. Panjang usus termasuk caecum dan perut kelenjar ± 10 kali panjang badan. Organ limfoid utama pada usus terdiri dari limfoid apendiks dan sacculus rotundus (ileocaecl tonsil). Kerangka tulangnya sangat mudah patah dan hanya merupakan 8 % dari berat keseluruhan kelinci.

Jantung kelinci relatif kecil dan berbeda dengan mamalia lainnya dalam hal katup antriovetricular yang kanan. Pada kelinci katup tersebut berbentuk biscupid (dua ujung lancip) sedangkan mamalia yang lain tricupid (tiga ujung lancip).

Kelinci memiliki vena yang berbanding tipis dan sangat mudah sobek. Testesnya baru turun pada umur 12 minggu. Terdapat 8 – 10 kelenjar mammae yang terletak pada garis yang memanjang dari leher sampai daerah inguinal. Air susunya kaya lemak da protein. Gigi pada kelinci tumbuh terus menerus sehingga pertumbuhan yang berlebih sering terjadi pada gigi seri yang dapat tumbuh 10-12 cm setahun. Dengan komposisi ggi kelinci terdiri dari 2/1 gigi seri, 0/0 gigitaring, 3/2 premolar dan3/3 molar (gigi geraham).

Sel darah neotrofil kelinci (terutama pada kasus peradangan bernanah) mirip eosinofil karena mengandung banyak granul eosinofil dalam sitoplasma. Neotrofil tersbut dikenal juga dengan nama psedoeosinofil, heterofil atau amfofil. Neotrofil dan limfosit terdapat dalam jumlah yang hampir sama banyak yaitu 30-70% dari total sel darah putih. Sel basofil pada kelinci relaatif lebih banyak, yaitu 2-7% dibanding hewan mamalia lainnya.

Sifat-sifat, Kelinci pada umunya tidak berbahaya bila didekati dan dipegang dengan lembut. Akan tetapi kadang-kadang pejantan dewasa dan betina yang baru melahirkan dapat menggigit atau mencakar dengan kai belakangnya, terutama bila diperlakukan dengan kasar atau pengekangan (restrain) tidak sempurna. Kelinci yan dewasa  kelamin (berumul lebih dari 3 bulan) sering saling berkalahi, oleh karena itu hewan-hewan tersebut harus dikandang sendiri-sendiri (satu ekor dalam satu kandang). Pejantan dan betina hanya dicampurkan pada saat akan kawin, hal ini untuk mencegah timbulnya gejala bunting (Pseudo pregnancy), infertilitas sdan terjadinya luka karena berkelahi.

Cara mengekang, bila kelinci dibawa ketempat yang jaraknya tidak jauh, maka cara pengekangan yang terbaik adalah tangan yang satu memegang kulit dibagian leher dan tangan lainnya memegang bagian belakang atau dipegang dengan satu tangan dipunggung. bila dipindahkan ke tempat yang jauh, kelinci diletakkan di atas lengan dengan kepala dijepit dilipatan sikut. Bila kelinci dibawa dengan kendaraan dalam jarak jauh sebaikknya digunakan kotak khusus yang ventilasinya cukup dan mudah dipindah-pindahkankan untuk menghindari stress. Jangan memindahkan keinci dengan cara memegang telinganya.

Nutrisi, makanan kelinci harus mengandung 16-20% serat kasar, 14-18% protein kasar dan tidak lebih dari 2500 kcal/hari. Total makanan kelinci ± seberat 100g/hari bagi kelinci yang beratnya sekitar 2 kg. kadar serat kasar yang terlalu tinggi akan mengakibatkan rendahnya defisiensi makannya dan mengakibatkan kepekaan terhadap radang usus. Bila serat kasar lebih rendah dari 6 % akan mengakibatkan diare dan makan bulunya sendiri. Serat kasar bermanfaat sebagai pengisis (bulk) perut. Kelinci memerlukan air minum sekitar 10 ml dan makanan sekitar 5 g untuk setiap 100 g berat badan perhari. Kelinci yang sedang menyusui anak memerlukan lebih banyak air maupun makanan, yaitu mencapai 90 ml air dan 450 g makanan perhari per 100 g berat badan.

 

 

Kandang kelinci harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut :

1.         Dibuat dari bahan yang kuat, tidak ada bagian yang tajam.

2.         Lantai kandang teruat dari kawat yang diameter lubangnya 1 x 2,5 cm, mudah dibersihkan, tidak rusak oleh pengaruh cuaca buruk, berukuran portable dan dilengkapi denganalat minum dan makanan.

3.         Kelinci betina ditempatkan 1 ekor dalam 1 kandang yang ukuranya sesuai dengan besarnya hewan. Kelinci yang beratnya mencapai 2 kg memerlukan 0,14 m2/ekor. Untuk ukuran 2-5 kg memerlukan kandang yang luasnya 0,37 m2/wkor. Betina yang menyusui anak, memerlukan tambahan kandang seluas 0,19 m2/ekor.

4.         Suhu kandang kelinci yang ideal adalah antara 18o – 21oC dan kelembaban

30 – 50 %.

Pencegahan penyakit, kelinci di indonesia sangat peka terhadap coccidiosis dan kudis. Kedua penyakit tersebut sangat merugikan dan cara penanggulangan yang terbaik adalah melalui pencegahan yang mengutamakan kebersihan dan pemberiaan obat-obatan.

SINTESIS, REKRISTALISASI DAN PEMURNIAN PADATAN SENYAWA ORGANIK (ASETIL SALISILAT/ASPIRIN)

 SINTESIS, REKRISTALISASI DAN PEMURNIAN PADATAN SENYAWA ORGANIK (ASETIL SALISILAT/ASPIRIN)


TINJAUAN PUSTAKA

            Campuran adalah materi yang terdiri atas dua macam zat atau lebih dan masih memiliki sifat-sifat zat asalnya. Terdapat 2 jenis campuran yakni campuran heterogen dan campuran homogen. Masing-masing campuran dapat dipisahkan dengan teknik pemisahan tertentu. Sifat dari campuran atau materi inilah yang akan menentukan metode manakah yang cocok dilakukan. Metode yang sering digunakan dalam pemisahan campuran adalah rekristalisasi (Chang, 2010). Rekristalisasi merupakan suatu pembentukan kristal kembali dari larutan atau leburan dari material yang ada dan merupakan kelanjutan dari kristalisasi. Apabila hasil kristalisasi memuaskan, rekristalisasi hanya bekerja apabila digunakan pada pelarut pada suhu kamar, namun dapat lebih larut pada suhu yang lebih tinggi. Hal ini bertujuan supaya zat tidak murni dapat menerobos kertas saring dan yang tertinggal hanyalah kristal murni (Fessenden, 1983). Reksristalisasi dilakukan dengan cara melarutkan zat padat dengan menggunakan pelarut yang sesuai kemudian larutan tersebut dikristalkan kembali. Rekristalisasi menggunakan prinsip dimana zat dapat larut dalam suatu pelarut tertentu pada saat dipanaskan karena konsentrasi total zat dan pengotor biasanya lebih kecil dari konsentrasi zat yang dimurnikan, bila dingin, maka konsentrasi zat dan pengotor yang rendah tetapi dalam larutan sementara produk yang berkonsentrasi tinggi akan mengendap (Arsyad, 2001). Kemurnian suatu zat ditentukan oleh beberapa sifat fisiknya. Sifat fisik adalah karakteristik zat yang bisa diamati dan diukur tanpa mengubah komposisi kimianya. Kelarutan adalah sifat zat padat apabila berhadapan dengan zat cair yang berfungsi sebagai pelarut. Pada temperatur tertentu jumlah zat yang bisa larut dalam sistem pelarut tertentu adalah spesifik (Svehla, 1979). Metode rekristalisasi mencakup lima tahapan yaitu:

1.     Pemilihan Pelarut

Pelarut yang terbaik adalah pelarut dimana senyawa yang dimurnikan hanya larut sedikit pada suhu kamar tetapi sangat larut pada suhu yang lebih tinggi, misal pada titik didih pelarut itu. Pelarut harus melarutkan secara mudah zat-zat pengotor dan mudah menguap, sehingga dapat dipisahkan secara mudah dari materi yang dimurnikan.

2.     Kelarutan Senyawa Padat dalam Pelarut Panas

Padatan yang akan dimurnikan dilarutkan dalam sejumlah minimum pelarut panas. Pada titik didihnya, sedikit pelarut ditambahkan sampai terlihat bahwa tidak ada tambahan materi yang terlarut kagi.

3.     Penyaringan Larutan

Larutan jenuh yang telah dipanaskan selanjutnya disaring menggunakan kertas saring yang ditempatkan dalam suatu corong.

4.     Kristalisasi

Filtrat hasil penyaringan selanjutnya dibiarkan kering. Zat padat murni akan memisah sebagai kristal. Larutan harus dalam keadaan jenuh karena jika larutan telah mencapai derajat saturasinya, maka di dalam zat padat akan terbentuk zat padat kristal.

5.     Pemisahan dan Pengeringan Kristal

Kristal dipisahkan dari larutan induk dengan penyaringan. Kristal yang telah tersaring dicuci dengan pelarut dingin murni untuk menghilangkan kotoran yang menempel. Kristal kemudian dikeringkan dengan menekan kertas saring atau dioven (Keenan, 1992). Disamping itu terdapat juga pembuatan Aspirin. Sifat fisika dan kimia yang dimiliki Aspirin (Asam Asetilsalisilat) adalah sebagai berikut:

Ø  Hablur, umumnya seperti jarum atau lempengan tersusun, berwarna putih, tidak berbau atau berbau lemah, stabil di udara kering dan di udara lembab secara bertahap terhidrolisa menjadi asam salisilat dan asam asetat.

Ø  Sukar larut dalam air, namun mudah larut dalam etanol. Larut juga dalam kloroform dan eter. Memiliki suhu lebur 141° sampai 144° (Depkes RI, 1979; Depkes RI, 2014).

Ø  Terjadi reaksi asetilasi asam salisilat dengan anhidrida asetat Reaksi asetilasi adalah suatu reaksi memasukkan gugus asetil ke dalam suatu substrat yang sesuai. Gugus asetil adalah RCOO (dimana R = alkil atau aril). Sintesis aspirin merupakan suatu proses dari esterifikasi. Esterifikasi merupakan reaksi antar asam karboksilat dengan suatu alkohol membentuk suatu ester. Aspirin dibuat dengan mereaksikan asam salisilat dengan anhidrida asam asetat menggunakan katalis HSO4 sebagai zat penghidrasi. Asam salisilat adalah asam bifungsional yang mengandung dua gugus –OH dan –COOH. Karenanya, asam salisilat ini dapat mengalami dua jenis reaksi yang berbeda yaitu reaksi asam dan basa. Reaksi dengan anhidrida asam asetat akan menghasilkan aspirin (Fessenden dan Fessenden, 1986). Aspirin tidak larut dalam air. Hal ini disebabkan karena asam salisilat sebagai bahan baku aspirin, yang merupakan senyawa turunan asam benzoat yang merupakan asam lemah yang memiliki sifat sukar larut dalam air.


Reaksi pembuatan aspirin menurut (Fessenden, 1986), yaitu :

1.     Asam salisilat direaksikan dengan asam asetat anhidrat. Sehingga gugus alkanol pada asam salisilat akan bereaksi dengan gugus asetil pada asam asetat anhidrat dibantu dengan katalis H2SO4 sebagai penghidrasi.

2.     Gugus alkanol dan gugus asetil saling bertukaran tempat.

3.     Struktur dari asam salisilat berubah (-OH menjadi CH3COO-) yang disebut sebagai Asam Asetil Salisilat dengan nama dagang Aspirin dengan reaksi samping asam asetat.

 

 

3. ALAT DAN BAHAN

3.1 Alat

a.      Erlenmeyer

b.     Penangas air

c.      Timbangan

d.     Gelas beaker

e.      Batang pengaduk

f.      Saringan

g.     Corong buchner

h.     Oven

i.       Ice bath

j.       Tabung kapiler

k.     Kertas litmus

l.       Burner flame

3.2 Bahan

a.      Asam salisilat

b.     Anhidrida asetat

c.      Air

d.     Benzene

e.      FeCl3

f.      Natrium bikarbonat

g.     HCl

h.     NaOH encer

 

4. PROSEDUR KERJA PRAKTIKUM

4.1 Sintesis Aspirin (Vishnoi, 1979)

1.     Timbang 6,0 gram asam salisilat dan ditempatkan dalam Erlenmeyer 250 mL.

2.     Tambahkan 8,5 ml anhidrida asetat, diikuti dengan 3-4 tetes asam sulfat pekat.

3.     Panaskan campuran di penangas air/water bath dengan pengadukan konstan, suhu 60°C selama 15 menit.

4.     Dinginkan campuran.

5.     Siapkan 100 mL air dingin dalam gelas beaker 500 mL.

6.     Tuang campuran ke dalam air dingin tersebut sambil diaduk.

7.     Saring presipitat/kristal kotor dari produk kasar (crude product) menggunakan corong Buchner, cuci menggunakan air dingin (sebanyak 5 mL, masing-masing diulangin sebanyak 3 kali), keringkan.

8.     Timbang dan hitung hasil kasarnya.

4.2 Pemurnian aspirin seecara rekristalisasi

1.     Dilarutkan sampel dari hasil akhir sintesis dalam sejumlah kecil benzene (dapat diganti dengan propanol atau etanol) panas dalam erlenmeyer, campuran dipanaskan dengan penangas air.

2.     Pindahkan Erlenmeyer, dan biarkan larutan dingin pada suhu kamar, aspirin akan mulai mengkristal (dapat juga dibantu dengan penambahan tetesan air hangat sampai larutan menjadi sedikit keruh).

3.     Kemudian lakukan rekristalisasi dalam ice bath (sampai kritalisasi selesai). Jika tidak terbentuk kristal aspirin, ditambahkan petroleum eter dan dinginkan sedikit larutan dalam air es, sambil digosok dinding gelas dengan menggunakan batang pengaduk untuk menginduksi rekristalisasi.

4.     Kumpulkan produk kristal dengan filtrasi/corong Buchner, cuci dengan sejumlah kecil air dingin. Dikeringkan produk dalam oven (70°C 15 menit), ditimbang massanya. Hal ini diulangin 3 kali sampai tidak terjadi perbedaan massa antar penimbangan.

4.2.1 Cara lain rekristalisasi

1.     Kristal dimasukkan ke dalam campuran 15 mL etanol 96% dan 40 mL air

2.     Dipanaskan hingga semua kristal larut

3.     Kemudian dinginkan perlahan sampai terbentuk kristal jarum.

4.3 Pengujian Sifat Fisika, Kimia, dan Kemurnian Aspirin (Lakukan Minimal 2 atau 3 Pengujian)

1.  Masukkan kristal kedalam tabung uji yang mengandung 5 ml air (dapat dibantu dengan pemanasan selama beberapa menit, dinginkan), tambahkan 1 atau 2 tetes besi (III) klorida / FeCl3 1 % ke tabung dan catat warna. Pembentukan kompleks aspirin dengan Fe (III) memberikan warna merah ungu.

2.  Aduk sejumlah kecil sampel padatan kasar kegelas beaker lalu tambahkan 2 ml larutan natrium bikarbonat (NaHCO3) 0,5M. Amati kelarutannya. Tambahkan HCl 0,5M tetes demi setetes sampai terjadi perubahan, catat hasil pengamatan.

3.     Letakkan sejumlah sedikit kristal pada satu lembar kertas litmus biru yang basah, catat hasil pengamatan.

4.   2 gram sampel ditambahkan 2 mL NaOH encer dan didihkan selama 5 menit. Dinginkan, kemudian asamkan dengan HCl encer. Endapan putih aspirin akan terbentuk, lalu diuji titik leburnya.

5.     Ambil sejumlah kecil kristal aspirin, masukkan dalam tabung kapiler titik lebur. Titik lebur ditentukan menggunakan peralatan pengujian titik lebur. Buatlah ujung tabung kapiler yang satu lebih pendek dari yang lainnya. Kunci/tutup salah satu ujung tabung dengan cara dibakar menggunakan burner flame. Sampel diletakkan pada ujung tabung yang lebih pendek. Ketukkan tabung secara perlahan untuk membantu pasukkan sampel ke dalam tabung (sampai tinggi serbuk kurang lebih 1cm), panaskan perlahan. Naikkan suhu 1˚C per menit mulai dari 120˚C. Amati tabung, suhu lebur mulai ketika kristal aspirin mulai melebur sampai suhu ketika tidak ada kristal aspirin yang tersisa lagi.


DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, M.N. 2001. Kamus Kimia Arti dan Penjelasan Istilah. Jakarta : Gramedia.

Chang, R. 2010. Kimia Dasar Jilid 1 Edisi 3. Jakarta : Erlangga.

Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia III. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Depkes RI. 2014. Farmakope Indonesia V. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia Download

Fessenden, RJ & J. Fessenden. 1983. Dasar-dasar Kimia Organik. Jakarta : Bina Aksara.

Svehla, G,. 1979. Vogel Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro Jilid I Edisi Kelima. Jakarta : PT. Kalman Media Pustaka.

Sabtu, 04 September 2021

FARMAKOLOGI OBAT

 

FARMAKOLOGI OBAT


Obat merupakan suatu zat yang berguna untuk diagnosis, mengurangi rasa sakit, serta mengobati serta mencegah penyakit pada makhluk hidup, baik itu manusia maupun hewan (Ansel, 1985). Sebelum tiba pada tempat tujuan, obat mengalami banyak proses. Proses yang biasanya terjadi saat obat masuk kedalam tubuh guna menimbulkan efek, yaitu proses absorpsi, distribusi, seta pengikatan. Kerja suatu obat merupakan hasil dari berbagai proses yang telah dilewati oleh obat dan secara umum, proses ini didasari oleh suatu rangkaian reaksi yang dibagi dalam tiga fase. Fase tersebut merupakan fase farmasetik, fase farmakokinetik, dan fase farmakodinamik.

1.      Fase Farmasetik

Fase farmasetik meliputi beberapa proses, yaitu proses fabrikasi, pengaturan dosis, formulasi, bentuk sediaan, pemecahan bentuk sediaan, dan terlarutnya obat aktif. Karena fase ini terdiri dari beberapa proses utama, oleh sebab itu fase ini utamanya ditentukan oleh sifat-sifat galenik obat.

2.      Fase Farmakokinetik

Fase farmakokinetik memiliki peran dalam menentukan ketersediaan obat dalam plasma (ketersediaan hayati) sehingga dapat menimbulkan suatu efek. Proses farmakokinetik ini melewati berbagai tempat pemberian obat, seperti melalui alat cerna atau diminum (peroral), otot-otot rangka (intramuskuler), kulit (topikal), paru-paru (inhalasi), molekul obat masuk ke dalam cairan intra vaskuler setelah melalui beberapa dinding (barrier) dan disebarkan ke seluruh tubuh serta mengalami beberapa proses (Nita dan Vitri, 2017). Proses ini dimulai dengan masuknya molekul obat masuk ke dalam cairan intravaskuler setelah melewati beberapa dinding (penghalang) lalu menyebar ke seluruh tubuh dan mengalami banyak proses. Biasanya, obat baru dikeluarkan dari tubuh setelah biotransformasi di hati. Terdapat beberapa tempat pengeluaran obat, yaitu melalui ginjal dan melalui kulit. Untuk ginjal, nantinya obat akan dikeluarkan bersamaan. Adapun 4
(empat) proses farmakokinetik, yaitu yang pertama proses absorpsi, yang kedua proses distribusi, yang ketiga proses metabolisme, dan yang terakhir proses ekskresi. Metabolisme atau biotransformasi dan ekskresi bentuk utuh atau bentuk aktif sebagai proses eliminasi obat (Gunawan, 2009).

a. Absorpsi

Absorpsi merupakan suatu proses terjadinya perpindahan obat dari tempat pemberian menuju ke peredaran darah yang selanjutnya mencapai target aksi obat. Sebelum terjadi proses absorpsi, harus dapat melewati dinding sel terlebih dahulu, baru kemudian dapat diedarkan ke seluruh aliran darah. Adapun faktor yang mempengaruhi absorpsi obat yaitu kecepatan absorpsi, apabila pembatas antara obat aktif dan sirkulasi sistemik hanya sedikit sel, maka absorpsi terjadi cepat dan obat segera mencapai level pengobatan dalam tubuh. Faktor selanjutnya yang mempengaruhi penyerapan obat yaitu, aliran darah ke tempat absorpsi, total luas permukaan yang tersedia sebagai tempat absorpsi, waktu kontak permukaan absorpsi. Kecepatan Absorpsi dapat diperlambat oleh nyeri dan stress, nyeri dan stress mengurangi aliran darah, mengurangi pergerakan saluran cerna, retensi gaster, makanan tinggi lemak, makanan tinggi lemak dan padat akan menghambat pengosongan lambung dan memperlambat waktu absorpsi obat, faktor bentuk obat, absorpsi dipengaruhi formulasi obat seperti tablet, kapsul, cairan, sustained release, dan lain-lain, dan kombinasi dengan obat lain, interaksi satu obat dengan obat lain dapat meningkatkan atau memperlambat absorpsi tergantung jenis obat. Obat yang diserap oleh usus halus ditransport ke hepar sebelum beredar ke seluruh tubuh. Hepar memetabolisme banyak obat sebelum masuk ke sirkulasi. Hal ini yang disebut dengan efek first-pass. Metabolisme hepar dapat menyebabkan obat menjadi inaktif sehingga menurunkan jumlah obat yang sampai ke sirkulasi sistemik, jadi dosis obat yang diberikan harus banyak

b. Distribusi

Setelah obat diabsorpsi kedalam aliran darah, dilanjutkan dengan proses distribusi. Distribusi obat mengacu pada proses pengiriman obat berdasarkan peredaran sistemik ke dalam jaringan dan cairan tubuh. Adapun beberapa faktor yang menyebabkan terserapnya distribusi obat, yaitu seperti struktur kapiler, struktur obat, pengikatan protein, aliran darah, serta permeabilitas kapiler. Jantung, hati dan ginjal merupakan organ yang ada di dalam tubuh dengan aliran terbanyak. Sedangkan pada saat yang sama, distribusi ke organ lain seperti otot, kulit, dan lemak menjadi lebih lambat.

c. Metabolisme

Proses ketiga adalah proses metabolisme. Proses ini merupakan proses dimana tubuh manusia mengubah komposisi obat menjadi lebih larut dalam air sehingga dapat dikeluarkan dari tubuh. Terdapat du acara metabolism obat, yaitu diubah menjadi metabolit inaktif dan metabolit aktif kemudian diekskresikan menjadi metabolit aktif yang memiliki efek farmakologis sendiri dan dapat dimetabolisme lebih lanjut. Metabolisme obat terutama terjadi di hati, yaitu di retikulum endoplasma (mikrosom) dan cytosol. Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini obat aktif umunya diubah menjadi inaktif, tapi sebagian dapat berubah menjadi lebih aktif, kurang aktif, atau menjadi toksik.

d. Ekskresi

Proses terakhir yaitu proses eksresi. Pada proses ini obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Ekskresi obat memiliki arti pembuangan obat dari tubuh. Sebagian besar obat dibuang dari tubuh melalui ginjal, paru-paru, keringat, ludah, payudara, kulitdan traktusintestinal. Ginjal merupakan organ terpenting dalam sekresi obat, hal tersebut dikarenakan di dalam ginjal terdapat tiga proses eliminasi, yaitu proses filtrasi glomerulus, sekresi aktif di tubulus, dan reabsorpsi pasif di sepanjang tubulus. Organ ke dua yang memiliki peran penting untuk ekskresi obat selain ginjal adalah empedu. Melalui empedu akan dilanjutkan ke dalam usus lalu akan dikeluarkan bersamaan dengan keluarnya feses.


3.      Fase Farmakodinamik

Fase farmakodinamik merupakan fase terjadinya interaksi obat-reseptor dalam target aksi obat. Fase ini memiliki peran dalam penentuan besar kecilnya efek obat dalam tubuh Farmakodinamik menitikberatkan pada pembahasan tentang kajian efek fisiologis obat, reaksi biokimia obat dalam tubuh terhadap berbagai organ maupun sel tubuh manusia dan juga mekanisme kerja obat dalam tubuh manusia.

Pemberian obat pada hewan uji dapat dilakukan melalui beberapa rute, yaitu oral, intravena, subkutan, intramuscular, serta intraperitoneal. Untuk mencapai efek dari suatu obat terdapat faktor yang sangat penting yaitu rute pemberian. Rute oral merupakan rute obat yang diberikan melalui mulut. Obat yang diberikan melalui jalur oral biasanya memiliki efek sistemik. Rute intravena merupakan rute penyuntikkan obat langsung ke dalam pembuluh darah. Rute intravena dapat dikatakan sebagai rute pengiriman tercepat, karena langsung mengalir pada aliran darah sehingga menyebabkan efek obat bekerja secara cepat. Rute subkutan merupakan rute yang melibatkan penyuntikan antibodi pada bawah kulit lebih tepatnya ke dalam lapisan lemak, bukan ke otot. Rute intraperitoneal jarang digunakan secara klinis, tetapi selalu digunakan untuk diberikan pada hewan kecil seperti mencit dan tikus. Rute Intramuscular merupakan rute pemberian obat dengan teknik pemberian obat yang biasanya melalui jaringan otot melalui otot paha. Obat yang dapat digunakan dalam praktikum hewan uji adalah fenobarbital. Fenobarbital merupakan golongan sedatif hipnotik yang juga diindikasikan sebagai antikejang. Adapun beberapa efek sedative dari penggunaan obat fenobarbital, yaitu ditandai dengan hewan uji mengantuk, tertidur dan kehilangan righting reflex (kemampuan mengembalikan posisi badannya).